Senin, 06 April 2009




Sepatu Kulit Ular Warna Merah

Siapakah dia yang mengenakan sepatu kulit ular warna merah? Aku hanya melihat kakinya, hanya betisnya malah-sebagian lagi, telapak dan jari kaki, tertutup oleh sepatu itu sendiri. Namun punggung kakinya terbuka, putih mulus kulitnya, dengan otot yang kebiru-biruan. Sepatu berhak tinggi yang lancip itu membuat kaki pemakainya tampak indah sekaligus perkasa. Kulihat pertama kali menyeruak di antara kerumunan. Lewat dengan penuh pesona impian, begitu lambat, sangat lambat, bagai tiada yang lebih lambat, tetapi segera berkelebat, hilang dari pandangan.

Namun kaki yang mengenakan sepatu kulit ular warna merah itu tertinggal dalam kepalaku. Sepatu kulit ular warna merah itu bagai memberikan pemakainya, pemilik kaki indah dan perkasa yang kulitnya mulus dengan otot samar-samar biru muda itu, sebuah kepribadian.

Kepribadian macam apa?

Aku tidak bisa melepaskan diri dari kesan betapa kaki itu juga bisa membelit seperti ular! Kita tidak pernah tahu apakah belitan itu akan mencekik atau membahagiakan, tetapi belitan seekor ular bisa terhubungkan dengan asmara maupun pembunuhan. Apakah yang ingin dikatakan oleh seorang perempuan yang mengenakan sepatu kulit ular warna merah dalam sebuah pesta yang baru berakhir di pagi buta? Apakah pesan yang dikirimkannya?

Apakah ia seperti berkata, ‘datanglah padaku, biar kubelit dirimu seperti ular membelit mangsa, biar kuremukkan tulang-tulangm, dan kutelan hidup-hidup dirimu itu. Datang, datanglah padaku, biar kubelit dirimu dengan kenikamatan yang begitu membahagiakan sehingga dikau tidak akan menyesal membayarnya dengan kematian….’

Namun aku tidak sedang dibelitnya. Itu hanyalah kemungkinan yang selalu terbayangkan setiap kali sepatu itu tertatap olehku. Aku tidak pernah melihat orangnya, yang selalu tertatap olehku hanyalah kakinya. Ramping dan berisi, melangkah dengan yakin, dan masih tetap menjanjikan belitan luar biasa dari seekor ular yang berwarna merah seperti merahnya lampu-lampu rumah bordil itu.

Tampaknya ular yang dikuliti penyamak itu adalah ular sawah, yang tak berbisa tetapi bisa begitu besar sehingga bagaikan mampu menelan apa saja. Tidak ada ular sawah berwarna merah, jadi warna merahnya datang dari cat. Sepatu kulit ular itu dicat warna merah karena warna itu sangat mencolok dan menantang. Mereka yang membeli dan mengenakan sepatu itu seperti mengirimkan pesan dengan kata-kata depada pemilik mata yang melihatnya.

‘lihat, lihatlah aku, aku mengenakan sepatu kulit ular warna merah yang menantang kepadamu. Tataplah sepatu kulit ular warna merah ini, tafsirkanlah maknanya, dan tafsirkanlah diriku.’

Bagaimanakah kita harus menafsirkannya? Apakah kita boleh menafsirkannya seperti ular di taman firdaus yang menggoda? Ular di taman firdaus berwarna merah, turun ke bumi dengan tekad menggoda. Menggoda dengan pesona, pesona kaki yang membelit, belitan ular yang membunuh dan melenyapkan kita ke dalam perutnya.

Tapi aku rela dibelit sepasang kaki yang mengenakan sepatu kulit ular warna merah itu. Jika aku harus mati, biarlah aku mati dalam kenikmatan tertinggi.

Aku hanya pernah melihat kakinya, kaki yang mengenakan sepatu kulit ular warna merah itu. Kata para ahli, sepatu tinggi sangat menyiksa perempuan, setidaknya bukan alas yang sehat untuk kakinya, tetapi terpaksa dikenakan juga meski tidak ada yang memaksa, karena janji keindahan yang diberikannya.

Kaki di dalam sepatu tinggi memang memberi kesan tertentu. Sepertinya karya seni. Potonglah dan pajang kaki yang mengenakan sepatu kulit ular warna merah itu di ruang pameran. Memang bisa mengerikan jika darah mengucur membasahinya, tetapi kaki yang terbungkus sepatu kulit ular warna merah itu masih akan mengirimkan pesan yang sama.

‘tataplah aku, tafsirkanlah aku, maka akan kuberikan padamu kemungkinan terbaik yang bisa dibayangkan seorang lelaki.’

Begitulah sepasang kaki yang emngenakan sepatu kulit ular warna merah itu selalu lewat di bawah mataku. Tak pernah kulihat orangnya, hanya kakinya, lewat berkelebat seperti impian, meninggalkan harum parfum yang aromanya seperti tubuh yang terbka. Sepasang kaki bersepatu kulit ular warna merah, selalu lewat di bawah mataku. Sepasang kaki yang indah, kuat dan perkasa, bagaikan selalu siap menjepit kita, dengan jepitan yang begitu kuat, sampai kita bisa meninggal dunia. Sepasang kaki yang itu, yang itu-itu juga, denga betis berbulu tipis yang seperti selalu minta dielus-sepasang kaki siapakah itu?

Aku selalu melihatnya di tengah kemeriahan pesta, ketika kudengar denting gelas beradu, tawa riang yang lepas karena anggur, dan hangar musik yang seperti membuat setiap orang harus berteriak ketika bicara. Namun dunia mendadak jadi sunyi apabila kulihat sepatu kulit ular warna merah dengan sepasang kaki halus mulus indah perkasa yang ditopangnya. Dunia mendadak jadi sunyi, sesunyi-sunyinya sunyi, bagaikan di dalam awing-uwung dalam Samadhi, apabila kemudian terlihat sepasang kaki bersepatu kulit ular warna merah itu melangkah dalam gerak lambat, selambat-lambatnya lambat, yang tetap saja serasa berkelebat ketika kepalaku terangkat untuk melihat orangnya.

Selain kakinya pernah juga kudengar suaranya. Aku tak bisa melirik atau menolah karena suara itu terdengar di belakangku. Aku hanya bisa menndukkan kepala dan melirik ke bawah kea rah belakangku, karena aku sedang berbicara dengan seseorang yang tak bisa ditinggalkan sedetik pun meski hanya untuk menoleh sesaat, dan saat itulah kulihat sepatu kulit ular berwarna merah itu. Aku mendengar suaranya terlebih dahulu sebelum melihat sepatu itu, memang karena suaranyalah maka aku ingin mengetahui yang lain-lainnya-berarti suaranya sama menarik seperti ular warna merahnya, karena dari suaranya terbayangkan tenggorokan yang dalam, sedalam-dalamnya tenggorokan, yang seolah-olah bisa menelan segalanya seperti seekor ular. Hmm. Namun kukira akulah yang serasa ingin menelannya bulat-bulat sekarang.

Sosok perempuan itu terbayang lebih lengkap sekarang dari kumpulan gambaran yang kudapatkan dari setiap pertemuan. Kadang kulihat gelang kaki platina yang lentik pada pergelangan kaki yang mulus itu. Gelang platina yang selalu berkeretap karena dipenuhi berlian. Lantas tangannya, yang kanan, karena yang kiri tentunya memegang gelas anggur merah, ketika ia merendahkan tubuhnya mengambil kunci mobil Jaguar yang jatuh.

Melihat ikon Jaguar pada pegangan kunci mobil itu, aku tidak teringat sebuah mobil, yang kuingat adalah lompatan seekor jaguar yang cepat dan tepat ketika melesat dan menerkam. Aku harus mengakui betapa sulitnya menghindarkan bayangan seorang perempuan dengan tubuh terbuka yang akan membelit kita seperti seekor ular dan mulutnya menancap di leher kita seperti terkaman seekor jaguar.

Begitu banyak tambahan gambaran dalam setiap papasan. Parfum,arloji, gaun merah, betis, lutut, suara tawa, lagu panggilan telepon genggam (selalu pembukaan Carmina Burana), dan suara sepatu tinggi yang melangkah penuh kepercayaan diri-tetapi tiada gambaran yang lebih kuat dari sepatu kulit ular warna merah itu, yang menopang sepasang kaki putih halus mulus indah yang seperti selalu bersedia menjepit dengan perkasa. Berbagai gambaran muncul berkelebat dengan cepat, sampai aku betul-betul menganggapnya sebagai sekadar khayalan dalam kesendirianku saja.